Catatan tentang Asuransi di Indonesia ini merupakan kumpulan posting di facebook.
Consultation
Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.
Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.
Pencarian
Thursday, June 1, 2017
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Hari menulis ini pas saat #SayaIndonesiaSayaPancasila, hari peringatan kelahiran Pancasila. Lho, apa hubungannya dengan Asuransi? Khususnya, dengan Asuransi Jiwa? Mari kita lihat sedikit lebih dalam. Dari kelima sila Pancasila, ekonomi dinyatakan dalam sila kelima, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dan diberi lambang padi dan kapas.
Asuransi, pada hakekatnya, adalah perwujudan dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mari kita lihat apa dan kenapanya.
Keadilan sosial adalah bagaimana rakyat saling suka memberi pertolongan kepada orang lain, di dalam penghormatan pada hak dan kewajiban yang seimbang. Begitulah dahulu dijelaskan dalam butir-butir pedoman pengamalan Pancasila. Setiap orang berkesempatan untuk mendapat akses yang sama untuk mewujudkan potensi dirinya. Bukan hanya orang kaya saja yang memperoleh akses kepada sumber-sumber ekonomi -- tidak seperti kapitalisme. Setiap orang bisa memperoleh dukungan dan sumber untuk bekerja, mendapatkan hasil, dan menjadi makmur sejahtera.
Namun, musibah dalam kehidupan membuat hidup ini tidak adil. Pernahkah mendengar kisah sedih tentang satu keluarga yang berjuang untuk maju, bergantung kepada sang anak satu-satunya yang lulus sarjana dan punya koneksi lewat teman-teman kuliah untuk mendapatkan barang dan bahan, terus diproses produksi, lalu hasilnya dijual. Pada suatu hari terjadilah kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa sang anak, maka bukan hanya kesedihan amat sangat tapi juga kebingungan besar karena orang yang diharapkan telah tiada.
Kematian dini tidak pernah adil. Kisah lain adalah keluarga muda, di mana sang suami bekerja jual beli mobil sedang sang istri sibuk mengurus anak pertama yang masih berusia 10 bulan, tidak ada orang tua yang mendampingi. Jadi, ibu mengurus anak dan rumah, sedang ayah berjuang mencari nafkah. Sekali waktu ada orang yang menjual mobil dengan harga sangat miring di kota lain. Malam diiklankan, tengah malam langsung disepakati, dibeli dengan seluruh tabungan yang ada. Subuh-subuh mobil diambil oleh sang ayah, sangat senang karena keuntungan besar di depan mata. Karena mengantuk, di perjalanan mobil menabrak pohon dan supirnya -- sang ayah dan suami -- meninggal dunia di tempat. Yang sampai di rumah di siang hari itu adalah mobil ringsek berat dan jenazah suami.
Kisah-kisah sedih ini berputar terus, terdengar terus di sekeliling kita. Orang-orang dengan muka muram pergi melayat, musibah ini menyedihkan. Tapi, apa yang mereka berikan kepada keluarga yang bukan saja berduka, tapi juga secara ekonomi mengalami pukulan yang keras? Berapa banyak santunan yang diperoleh sebagai uang dukacita? Di mana Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Dahulu, mungkin masih ada keluarga besar yang mau berpatungan untuk memberi bantuan dan menyokong kehidupan sang janda dan anaknya yang masih 10 bulan. Ada yang menyediakan keperluan makan sehari-sehari. Ada yang membelikan kebutuhan susu dan popok. Ada yang membayari semua tagihan listrik dan air dan telepon. Ada yang menyediakan kendaraan dan supir, sewaktu-waktu dibutuhkan. Bagi orang-orang yang secara sosial lebih berada, hal-hal ini tidak terlalu sukar. Namun, bagaimana dengan mereka yang semuanya masih berjuang secara finansial?
Ambil sedikit data, ini dari tahun 2016. Ada 105.374 kecelakaan kendaraan bermotor di sepanjang 2016. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya adalah kecelakaan roda dua. Korban meninggal dunia 25.859 orang, luka berat 22.939 orang, dan luka ringan 120.913 orang. Menurut WHO tahun 2014, Indonesia adalah negara kelima terbesar jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas.
Apa yang bisa dilakukan? Setiap tahun pemilik kendaraan bermotor membayar STNK, sekaligus juga membayar premi Asuransi Kecelakaan yang disebut Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, disingkat SWDKLLJ. Silakan cek STNK yang Anda miliki. Pengelolanya adalah BUMN Jasa Raharja, yang diatur oleh peraturan Menteri Keuangan. Jika meninggal dunia atau cacat karena kecelakaan -- termasuk bila jadi korban kecelakaan, misalnya pejalan kaki yang ditabrak pemilik kendaraan -- santunan yang diberikan adalah sebesar Rp 25.000.000, plus biaya penguburan Rp 2.000.000. Kalau dirawat di rumah sakit, biaya penggantian perawatan maksimal Rp 10.000.000.
Setiap pemilik kendaraan wajib membayar SWDKLLJ. Setiap korban kecelakaan lalu lintas berhak memperoleh santunan. Ini adalah bentuk keadilan sosial, bukan berarti mengharapkan ada terjadi kecelakaan, tetapi faktanya ada banyak kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia. Siapa saja bisa menjadi korban. Apakah cukup?
Bagaimana jika kematian terjadi karena penyakit, yang disebabkan oleh polusi rokok dan jalan raya? Bagaimana jika kematian terjadi karena terkena penyakit menular? Kita semua tahu bahayanya Demam Berdarah. Banyak orang mati karena demam berdarah: di tahun 2015 ada 1.229 orang meninggal. Itu 49,5 orang per 100.000 penduduk, meningkat terus selama lima tahun. Di 2011 ada 27,67 orang per 100.000 penduduk yang meninggal karena DB.
Asuransi Jiwa menjadi solusi Keadilan Sosial. Prinsipnya, Asuransi Jiwa mengumpulkan premi dari setiap pemegang polis dan peserta Asuransi. Premi dari perusahaan asuransi terus disalurkan ke perusahaan reasuransi, mengumpulkan lebih banyak dana Asuransi. Orang yang mempunyai polis Asuransi, turut memberikan bagian preminya ke dalam kumpulan Dana Asuransi, yang akan terus disalurkan kepada penerima manfaat saat Tertanggung mengalami musibah.
Ketika sang anak yang menjadi andalan keluarga meninggal dunia, klaim dari Asuransi Jiwa memberikan Uang Pertanggungan sebesar nilai ekonomi. Dukacita karena ditinggalkan itu tidak tergantikan, namun secara finansial tersedia penggantian kerugian bisnis karena posisi kunci meninggal dunia.
Ketika sang suami yang diharapkan meninggal dunia, klaim dari Asuransi Jiwa menggantikan kerugian finansial dan memberi sokongan yang cukup untuk beberapa tahun ke depan, cukup sampai janda muda ini mampu bekerja sendiri, anak cukup besar untuk ditinggal.
Keadilan sosial berarti setiap pemegang polis menyerahkan preminya, membayar biaya asuransi yang menjadi bagian dari pertolongan kepada orang-orang yang kena musibah. Asuransi bukan tabungan, melainkan kerjasama sosial. Bukan rekening tabungan atau tempat memperbesar kekayaan, namun mencegah kekayaan musnah karena musibah. Itulah sebabnya, uang pertanggungan Asuransi tidak dikenakan pajak, karena memang tidak ada keuntungan, tidak ada pendapatan untuk dipajaki.
Jika seseorang mengambil bagian dalam Asuransi, ia mengambil bagian dalam keadilan sosial. Premi yang dibayarkannya bukan tabungan, bukan menyimpan uang. Itu adalah premi yang akhirnya akan hilang, karena dikumpulkan untuk menjadi pertolongan. Sebaliknya, jika suatu saat musibah menghampiri dirinya, ia juga memperoleh manfaat pertanggungan. Agar keadilan sosial ini terwujud, seharusnya sebanyak mungkin rakyat Indonesia menjadi peserta Asuransi Jiwa, dan asuransi lainnya.
Sayangnya, di Indonesia ini penetrasi Asuransi Jiwa masih rendah, belum sampai 10% dari penduduk Indonesia yang 260 juta jiwa ini memiliki perlindungan Asuransi Jiwa. Kematian masih terjadi, entah karena kecelakaan atau sakit penyakit, dan kemiskinan masih datang menghampiri keluarga yang ditinggalkan secara tiba-tiba.
Sedihnya pula, masih banyak di Indonesia yang tidak memahami Asuransi Jiwa, atau asuransi lain. Masih menganggap Asuransi Jiwa itu tabungan, tempat menyimpan harta. Asuransi tidak menyimpan Harta Anda! Asuransi unit link memang menyediakan investasi, dengan baik mengendalikan investasi tapi gunanya agar premi yang Anda bayarkan dapat lebih ringan. Hal yang lebih utama bukanlah berapa banyak yang kita "tabungkan" di Asuransi, melainkan sebesar apa manfaat uang pertanggungan yang diterima di kala musibah datang tak terduga.
Saat semua menjadi sulit oleh karena kematian -- hutang langsung jatuh tempo, tabungan di bank langsung dibekukan dan perlu proses hukum untuk dicairkan -- satu-satunya yang cepat dan menolong adalah Asuransi Jiwa. Hanya, berapa besar manfaat Asuransi Jiwa yang dapat diterima saat musibah terjadi?
Kita semua bisa membeli Asuransi Jiwa dengan sembarang -- ada yang merasa cukup hanya dengan Uang Pertanggungan Rp 21 juta saja, bayar premi Rp 350 ribu per bulan. Apakah Uang Pertanggungan sebesar itu adalah nilai yang pantas dibandingkan Nilai Ekonomi diri kita? Padahal, pada Asuransi Jiwa lain untuk orang muda di bawah 40 tahun, cukup Rp 100 ribu per bulan untuk menerima asuransi jiwa dengan pertanggungan Rp 50 juta!
Jadi ada yang disebut kepantasan dalam berasuransi. Terlalu rendah itu tidak pantas, dan terlalu tinggi itu berlebihan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan nilai yang pantas, yang tidak serakah, dan yang sesuai dengan realita kehidupan.
Selamat merayakan hari kelahiran Pancasila!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment