DARI PERTANYAAN SEPUTAR TAX AMNESTY, saya belajar untuk melihat dari sudut pandang banyak orang, terutama mengenai properti dalam kaitannya dengan hibah, atau warisan. Permasalahan mendasarnya adalah: aset atau harta dimiliki oleh orang-orang yang sudah tidak lagi produktif dan tidak memiliki dana tunai untuk membayar tebusan.
Saya merasa sedih dengan kondisi ini, karena semuanya jadi serba meleset. Begini Tax Amnesty tidak dimaksudkan untuk menyasar penduduk Indonesia yang sudah tua dan tidak lagi berpenghasilan. Tetapi dalam pelaksanaannya, akhirnya perlu dilibatkan karena banyak juga orang tua pensiunan, yang semasa produktifnya sebagai pengusaha tidak membayar pajak dengan benar, atau tidak melaporkan hartanya sama sekali di SPT.
Banyak orang yang mengumpulkan uang selama mereka produktif dan menghindari orang pajak. Masih ada ingatan, bagaimana orang pajak dahulu menjadi momok, menjadi pemeras terhadap wajib pajak. Ketidakpatuhan wajib pajak itu, sebagian karena nakal, sebagian karena tidak paham bagaimana mengikuti perpajakan yang begitu sering berubah aturannya, dan sebagian lagi karena adanya petugas pajak yang malah menyesatkan dan diam-diam memperkaya diri sendiri.
Ingat berita si Gayus H. Tambunan yang petugas pajak itu? Masih ingat tentang Mafia Pajak?
Eksesnya adalah banyak wajib pajak yang tidak patuh, lalu mereka ini berhenti kerja. Pensiun, dengan harta berupa aset. Sebagian besar bentuknya berupa properti, baik itu rumah atau tanah. Ada juga emas, ada juga deposito di bank. Dana tunai ada, untuk menghidupi hari demi hari, seringkali harus berhemat dan serba sedikit. Toh, orang tua tidak lagi butuh banyak makan, bukan?
Sementara itu, anak-anak mereka sudah berkeluarga, sudah ada cucu-cucu, yang juga membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit. Bayar uang sekolah, kebutuhan pertumbuhan, juga butuh gadget, komputer, internet... Anak lebih banyak mengeluarkan uang bagi cucu. Kakek dan nenek mengalah, hidup secukupnya saja -- toh sekarang hartanya ada dalam bentuk aset, seperti rumah atau ruko.
Ada yang lebih kreatif, mereka menyewakan rumah dan ruko nya, sehingga masih tetap dapat penghasilan. Namun, punya hubungan dengan penyewa adalah suatu hal yang perlu dikelola dengan baik, karena banyak juga permasalahan yang harus diatasi. Tidak semua kakek dan nenek masih cukup cakap untuk mengerjakan kontrak sewa yang benar, mengurusi segala detil mulai dari air, listrik, telepon, pemeliharaan kondisi bangunan, sampai mengurus perpajakannya.
Maka, ada juga orang tua yang hanya membiarkan properti miliknya, atau lantas menyerahkan properti itu kepada anaknya untuk dikelola, sedang si anak itu sendiri juga belum mempunyai banyak harta. Mari kita lihat sedikit situasinya: per tanggal 31 Desember 2015, harga wajar rata-rata ruko di banyak tempat ada di kisaran Rp 2 Milyar, sampai Rp 4 Milyar tergantung lokasi dan kondisi bangunan. Anggaplah tengahnya di Rp 3 Milyar.
Saat ada Tax Amnesty, di mana kesalahan perpajakan harus ditebus -- memang salah, bertahun-tahun dahulu tidak pernah bayar pajak dengan benar, uangnya dipakai untuk membeli ruko seharga Rp 500 juta, dan sekarang sudah jadi Rp 3 Milyar -- pengungkapan harta harus diikuti dengan tebusan, 2% sampai akhir September 2016. Hitung 2% dari Rp 3 M adalah Rp 60 juta.
Masalahnya, darimana ada uang untuk membayar Rp 60 juta? Orang tuanya sudah pensiun, tidak ada lagi dana. Turun ke anak, juga tidak punya dana, sebaliknya masih berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup serta menabung untuk hal-hal yang pasti harus dibayar, sepeti uang masuk kuliah anak kelak. Bayar tebusan Rp 60 juta sama sekali tidak mudah.
Karena tidak punya uang, pilihan pertamanya adalah tidak melaporkan, tidak meminta pengampunan pajak. Jika hal ini dilakukan, maka tidak boleh ada apapun yang dilakukan selama UU Tax Amnesty berlaku, sampai tahun 2019. Tidak bisa disewakan, tidak bisa dijual. Bila si anak melakukan sesuatu, yang akan terdeteksi oleh kantor pajak, maka harus dilakukan pembetulan dan pembayaran tunggakan pajak si orang tua sejak tahun 1985 sampai 2015. Tanpa ikut Tax Amnesty, masa lalu bisa datang dan menjadi hantu yang menakutkan.
Kalau misalnya tidak terdeteksi, dan mendadak minggu depan si orang tua meninggal, lantas mewariskan rumahnya kepada anak. Maka di perpajakan si anak harus dilaporkan ada tambahan harta berupa properti. Kantor pajak akan bertanya, dari mana asal properti itu? Saat dijawab itu dari warisan, ada masalah karena properti tidak tercantum di daftar harta milik almarhum. Kantor pajak bisa tidak mengakui klaim itu adalah warisan.
Jika ditolak sebagai warisan karena tidak pernah terdaftar sebelumnya di SPT almarhum, maka penerimaan harta rumah itu akan dilihat sebagai penghasilan, sebesar nilai pasar dari aset, dikenakan pajak penghasilan, di atas 500 juta dikenakan 30%. Kalau harganya Rp 3 Milyar, yang kena 30% adalah Rp 2,5 Milyar menjadi tunggakan pajak sebesar Rp 750 juta. Dihitung begini, bukankah lebih baik bayar sekarang Rp 60 juta?
Lebih baik ikut Tax Amnesty. Bayar konsekuensinya atau tebusannya, jauh lebih murah daripada membayar nanti.
Masalahnya, bagaimana cara membayarnya?
Pertama-tama, pahamilah dahulu apa tujuan finansial dari properti yang dijaga dengan segenap hati itu. Bukankah maksudnya adalah untuk warisan, dengan harapan nilainya juga bisa terus meningkat? Katakanlah hari ini nilainya Rp 3 Milyar, diharapkan nanti mau jadi berapa?
Misalnya ya, sekarang usia ada 59 tahun, dengan harapan hidup sampai usia 75 tahun, artinya ada 16 tahun lagi. Dengan asumsi peningkatan harga properti rata-rata 7% tiap tahun, dari Rp 3 Milyar nanti nilainya menjadi Rp 8,8 Milyar, sebagai warisan. Bayangkan betapa susahnya jika dinas pajak tidak mengakuinya sebagai warisan.... (sebenarnya, untuk ini harus ada keputusan pengadilan, yang butuh waktu tenaga dan uang juga)
Makanya,sekarang ikut Tax Amnesty. Caranya, sekarang properti ini dijual. Dapat kurang lebih Rp 3 Milyar. Moga-moga bisa dijual dalam hitungan satu bulan.
Diambil Rp 60 juta, masih ada Rp 2,94 Milyar kan? Kalau telat jual, masuk periode tebusan 3%, jadi bayar Rp 90 juta. Masih ada Rp 2,91 Milyar.
Ingat, bahwa tujuannya adalah warisan? Dana Rp 2,91 Milyar ini bisa dimasukkan ke produk Asuransi Jiwa, yang hanya menghitung Uang Pertanggungan. Bisa dapat UP sebesar Rp 8 sampai 9 Milyar. Hubungilah Agen yang Anda percaya untuk melakukannya.
Asuransi Jiwa menyediakan cara untuk melakukan distribusi kekayaan saat meninggal dunia, dengan tidak dikenakan pajak, tidak butuh ketetapan pengadilan, serta likuiditas yang tinggi dan pasti.
Cara lebih baik untuk mengatasi masalah properti untuk diwariskan dalam TA. Malah, mungkin masih ada dana lebih dari hasil penjualan, tidak usah semuanya dijadikan premi asuransi kan?
Sampai besok lagi.....
Catatan tentang Asuransi di Indonesia ini merupakan kumpulan posting di facebook.
Consultation
Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.
Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.
No comments:
Post a Comment