Kita pernah membahas tentang Tax Amnesty dalam Notes Asuransi ini. Sementara banyak orang merasa sudah lega karena beres dengan Tax Amnesty, kita harus kembali mengingat bahwa apa yang ada SETELAH Tax Amnesty adalah AEOI. Kalau lupa, silakan baca kembali artikelnya, klik di sini.
Implementasi di Indonesia untuk AEOI awalnya nampak sukar karena terbentur dengan berbagai Undang-Undang sebelumnya yang menjaga kerahasiaan data nasabah. Selama bertahun-tahun, banyak orang merasa bisa menaruh uangnya di bank dengan tenang, tidak ada yang akan bertanya dari mana uang itu, apakah sudah bayar pajak penghasilan, dan seterusnya. Namun, karena AEOI ini sudah tidak dapat dihindari dan perlu segera, sanga mendesak untuk diregulasi, maka Pemerintah mengeluarkan PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN. Pelaksanaannya adalah PMK No. 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.
Di satu sisi, kepentingan perpajakan adalah mengetahui posisi harta kekayaan warganegara. Dalam Tax Amnesty, warganegara secara sukarela menyatakan apa saja hartanya dan membayar tebusan. Jadi, yang sudah dilaporkan merupakan bagian dari 'masa lalu' yang tidak akan diutak atik lagi. Perpajakan tentunya tidak akan berhenti di masa lalu, namun bergerak untuk mengetahui kelanjutan dari perubahan kekayaan yang ada.
Perpajakan yang mana? Bukan hanya Indonesia, tapi seluruh dunia. SELURUH Pemerintahan berharap dapat mengetahui posisi harta warganya di dunia, bukan hanya dalam negeri. Pemerintah Indonesia juga mempunyai kepentingan yang serupa seperti yang lain, yang bisa disediakan dalam mekanisme AEOI. Perpu nomor 1 tahun 2017 membuat terobosan sehingga hambatan dari Undang-Undang kerahasiaan yang ada dapat disingkirkan. Semua sistem harus sudah berjalan per tanggal 30 Juni 2017.
Perpajakan yang mana? Bukan hanya Indonesia, tapi seluruh dunia. SELURUH Pemerintahan berharap dapat mengetahui posisi harta warganya di dunia, bukan hanya dalam negeri. Pemerintah Indonesia juga mempunyai kepentingan yang serupa seperti yang lain, yang bisa disediakan dalam mekanisme AEOI. Perpu nomor 1 tahun 2017 membuat terobosan sehingga hambatan dari Undang-Undang kerahasiaan yang ada dapat disingkirkan. Semua sistem harus sudah berjalan per tanggal 30 Juni 2017.
Dirjen Pajak mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan. Ini dikerjakan secara otomatis melalui infrastruktur teknologi informasi lewat Otoritas Jasa Keuangan alias OJK -- jadi bukan menunggu ada pegawai kurir yang membawa-bawa berkas laporan ke Dirjen Pajak, kecuali dalam hal entitas yang tidak nyambung dengan OJK.
Setiap lembaga keuangan yang berada di Indonesia harus menyampaikan informasi kepada Dirjen Pajak tentang nasabahnya, berupa identias nasabah, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. Format pelaporannya distandarisasi -- serupa di seluruh dunia -- berupa CRS, Common Reporting Standard. Hal ini merupakan suatu kewajiban, suatu syarat.
Jika ada orang yang menolak untuk dilaporkan informasinya, maka orang itu tidak bisa membuka rekening baru, atau jika orang itu adalah nasabah lama yang sudah punya harta, ia tidak dapat mentransaksikan hartanya. Nasabah tidak perlu melaporkan atau melakukan sesuatu; yang harus dilakukan hanyalah menyetujui CRS dilakukan, menyetujui informasi tentang dirinya diungkapkan kepada Dirjen Pajak. Sudah begitu saja. Selebihnya urusan bagaimana pelaporan dilaksanakan, semua akan dikerjakan antara lembaga keuangan dengan Dirjen Pajak.
Kok bisa begitu? Bagaimana dengan UU Kerahasiaan Perbankan? Dalam Perppu pasal 2 ayat 8 disebutkan, "Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/ atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini."
Setiap lembaga keuangan yang berada di Indonesia harus menyampaikan informasi kepada Dirjen Pajak tentang nasabahnya, berupa identias nasabah, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. Format pelaporannya distandarisasi -- serupa di seluruh dunia -- berupa CRS, Common Reporting Standard. Hal ini merupakan suatu kewajiban, suatu syarat.
Jika ada orang yang menolak untuk dilaporkan informasinya, maka orang itu tidak bisa membuka rekening baru, atau jika orang itu adalah nasabah lama yang sudah punya harta, ia tidak dapat mentransaksikan hartanya. Nasabah tidak perlu melaporkan atau melakukan sesuatu; yang harus dilakukan hanyalah menyetujui CRS dilakukan, menyetujui informasi tentang dirinya diungkapkan kepada Dirjen Pajak. Sudah begitu saja. Selebihnya urusan bagaimana pelaporan dilaksanakan, semua akan dikerjakan antara lembaga keuangan dengan Dirjen Pajak.
Kok bisa begitu? Bagaimana dengan UU Kerahasiaan Perbankan? Dalam Perppu pasal 2 ayat 8 disebutkan, "Dalam hal lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/ atau entitas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, kewajiban merahasiakan tersebut tidak berlaku dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini."
UU lama yang menutupi rahasia, kini tidak berlaku lagi. Jelas?
Tentunya, tidak semua rekening dilaporkan ke Dirjen Pajak. Rekening bank anak sekolahan yang saldonya hanya dua atau tiga juta (eh itu banyak lho bagi anak), bukan merupakan sasaran. Yang dilaporkan adalah, bagi rekening entitas dan telah dibuka sebelum 1 Juli 2017, yang wajib dilaporkan adalah yang agregat (kumpulan total) saldonya $250,000 atau lebih. Bagi rekening keuangan lainnya, tanpa batasan minimal.
Untuk perbankan, yang dimiliki orang pribadi batasannya Rp 1 M (ini adalah revisi batas saldo minimum yang dilaporkan per tanggal 7 Juni 2017, semula Rp 200 juta), sedang yang dimiliki entitas tanpa batas minimal.
Untuk perasuransian, yang dilihat adalah Nilai Pertanggungan atau jumlah Uang Pertanggungan minimal Rp 1 M.
Untuk perkoperasian, yang saldonya minimal Rp 1 M -- rasanya sih jarang yang menaruh dana di Koperasi sampai Rp 1 M ya, kecuali pada Koperasi yang memutarkan dana investasi (dan banyak yang jadi investasi bodong). Untuk pasar modal dan perdagangan berjangka, tidak ada batasan minimal, semua harus dilaporkan. Nah.
Ijinkan saya untuk membahas hanya tentang Perasuransian, dalam hal ini khususnya Asuransi Jiwa yang mempunyai nilai tunai atau nilai polis. Dalam hal asuransi yang menjadi 'rekening keuangan' adalah polis asuransi jiwa, di mana di dalamnya terkandung Perjanjian antara dua pihak: pihak pertama berjanji membayar premi, sedang pihak kedua berjanji memberikan manfaat pada saat terjadi musibah sesuai dengan yang dinyatakan dalam polis.
Jadi, semua polis dengan Uang Pertanggungan di atas Rp 1 M, wajib dilaporkan oleh Perusahaan Asuransi secara otomatis melalui OJK, disampaikan ke Dirjen Pajak. Apakah hal ini berarti Uang Pertanggungan Asuransi akan dikenakan pajak?
Tidak, sampai saat ini di seluruh dunia, Uang Pertanggungan atau Sum Insured tidak dikenakan pajak, karena Asuransi adalah suatu ganti rugi atau indemnity yang hakekatnya tidak memberikan keuntungan finansial pada orang yang terkena musibah.
Selain itu, secara harta, premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi jiwa di Indonesia menjadi milik perusahaan tersebut. Pada saat perusahaan asuransi melakukan tindakan investasi, seluruh pajak atas investasi dari kumpulan premi yang diterima telah dibayarkan oleh perusahaan. Lalu, untuk apa Dirjen Pajak mengetahui informasi polis?
Yang pertama adalah tentang premi yang dibayar oleh Nasabah yaitu Pemegang Polis atau Tertanggung. Apakah dana premi yang dibayarkan itu diambil dari kumpulan penghasilan yang sudah dibayar pajaknya? Ada batasan kewajaran antara besar premi dengan besar penghasilan seseorang, dengan maksimal kurang lebih 30% dari penghasilan.
Katakanlah misalnya, seseorang mengaku mendapat penghasilan sebesar Rp 10 juta per bulan. Namun, ia ternyata membuat polis asuransi dengan pembayaran premi sebesar Rp 5 juta per bulan. Bagaimana mungkin seseorang menghabiskan separuh dari seluruh penghasilannya untuk membayar premi? Di sini bisa diduga terjadi penyelewengan, mungkin sebenarnya ia mendapat penghasilan jauh lebih besar namun tidak dilaporkan ke Pajak.
Yang kedua adalah tentang pemakaian asuransi untuk berinvestasi yang tidak dilaporkan, bisa dilihat dari jumlah premi yang dibayarkan jauh lebih besar dibandingkan Uang Pertanggungannya. Kembali ke contoh di atas, jika seseorang membayar premi sebesar Rp 5 juta per bulan, dalam setahun ia membayar premi Rp 60 juta. Dalam waktu 10 tahun masa pembayaran premi, dana yang disetorkannya sebesar Rp 600 juta. Jika polisnya hanya Rp 200 juta, perhatikanlah bahwa jumlah preminya tiga kali lipat manfaat yang dijanjikan! Rugi dong?!
Mengapa bisa begitu? Dari mana sumber dana premi yang dipakai untuk membayar? Apakah ada maksud berinvestasi di tempat yang dianggap tidak terlacak oleh Dirjen Pajak? Dalam pelaporannya, juga harus disampaikan tentang besarnya Nilai Tunai atau Nilai Polis. Apakah ada niat untuk mengelabui pajak dengan menarik Nilai Tunai di kemudian hari, yang memang bukan objek pajak?
Bayangkan jika sumber dananya adalah hasil korupsi, atau hasil penjualan Narkoba, atau transaksi ilegal lainnya. Selama ini mereka membeli polis asuransi dan menaruh sejumlah dana besar yang berasal dari aksi kriminal. Karena diserahkan kepada perusahaan asuransi, maka harta berpindah dari tangan koruptor itu menjadi harta milik perusahaan Asuransi. Kemudian, setelah beberapa waktu berlalu, Nilai Tunai diambil dengan cara mencairkan polis. Besarnya nilai tunai yang diserahkan perusahaan Asuransi dicatat sebagai klaim, yang tidak dikenakan pajak dan sekarang telah "resmi" menjadi milik Nasabah. Ini bisa disebut pencucian uang, bukan?
Dalam asuransi, yang terutama adalah pertanggungan alias ganti rugi. Tapi di Indonesia belakangan ini, lebih banyak asuransi jiwa yang menawarkan asuransi jiwa unit link, dengan komponen investasi di dalamnya. Seharusnya, bagian investasi ini hanya untuk mendongkrak nilai cadangan premi, sehingga pemegang polis bisa membayar premi dalam jumlah yang lebih kecil karena dibantu oleh hasil investasi. Tetapi orang kini memakai asuransi jiwa juga untuk berinvestasi.
Orang asing juga tahu, dan mungkin mereka dengan bahagia menaruh harta mereka di asuransi jiwa di Indonesia. Harapannya, tidak ada yang dapat melacak -- tapi, kini tidak lagi. Harta orang asing juga akan dilaporkan, dan Dirjen Pajak di Indonesia terhubung dengan lembaga pajak dari negara-negara lain, saling bertukar data. Orang asing itu juga harus menghadapi lembaga pajak di negaranya lho. Sebaliknya juga sama: kalau orang Indonesia merasa kelewat gerah dan ingin taruh uang di negara lain, ternyata lembaga keuangan di negara lain itu harus lapor juga ke lembaga pajaknya, dan datanya terus diberikan ke Dirjen Pajak Indonesia. Ketahuan juga, bukan?
Pada investasi yang biasa, kepemilikan dari harta tetap tercatat atas nama Nasabah. Harta yang disimpan di bank, atau disimpan di reksa dana, tetap tercatat sebagai milik Nasabah. Tidak demikian dengan asuransi; harta berpindah tangan ketika premi dibayarkan. Lalu saat klaim dilakukan, harta kembali berpindah tangan dari asuransi ke Nasabah. Selama ini tidak ada pengecekan atas polis yang dibuat. Kini, dengan adanya ketentuan CRS, maka perusahaan asuransi juga diwajibkan untuk melaporkan polis-polisnya yang dianggap bernilai besar, dengan UP diatas Rp 200 juta.
Apakah para Nasabah perlu merasa kuatir? Tidak ada yang perlu dikuatirkan selama seluruh proses pembuatan polisnya masuk akal, dan dibayar dari penghasilan yang telah dibayarkan pajaknya. Atau, jika hartanya telah dilaporkan dalam Tax Amnesty, sedangkan polisnya sudah dibuat sejak sebelum tahun 2015, harta yang dipakai untuk membuka polis Asuransi Jiwa tidak dipersoalkan lagi, sedangkan polis asuransi itu sendiri bukan merupakan harta.
Jadi bagi sebagian besar pemegang polis, tidak akan ada masalah walaupun perusahaan asuransi jiwa melaporkan polisnya karena memiliki UP di atas Rp 200 juta -- jumlah yang kecil bagi perhitungan nilai ekonomi seseorang di perkotaan saat ini. Mungkin yang benar-benar khawatir adalah mereka yang selama ini memang memakai polis asuransi jiwa untuk menyembunyikan hartanya dari pajak penghasilan, atau mereka yang memakai polis untuk menampung dana yang bersumber ilegal atau haram.
Bagi kita sekalian yang bekerja dengan baik, kita bisa duduk tenang dan mempersilakan peraturan baru ditegakkan. Tapi, bagi agen lain yang selama ini kurang bertanggung jawab mengenai asal usul uang yang dipakai untuk membeli polis, mungkin ada baiknya mawas diri. Jika ditemukan pelanggaran perpajakan, atau bahkan lebih jauh ditemukan indikasi penggelapan / pencucian uang, maka agen yang membuat penutupan dapat dianggap terlibat dalam tindakan pencucian uang tersebut. Mungkin sekarang saatnya untuk mulai mencari pengacara yang baik.
Seluruh proses mengambil data ini adalah kerahasiaan. Hanya Dirjen Pajak yang boleh mengakses. Jika ada pegawai pajak yang memanipulasi atau memakai data menjadi alat pemerasan, masyarakat bisa mengakses wise.kemenkeu.go.id untuk melaporkan perbuatan tercela dari pegawai pajak tersebut. Jadi jangan kuatir, bukan berarti kini seluruh dunia bisa membuka data keuangan kita....
No comments:
Post a Comment