Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Thursday, October 13, 2016

Asuransi Secukupnya?

ASURANSI YANG BAIK ADALAH YANG SESUAI KEBUTUHAN, tapi tidak semua orang mampu terpenuhi asuransinya. Jika mengikuti kebutuhan, masalah pertama adalah ketidakmampuan masyarakat secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak (bukan minumum!), dimulai dari ketidakmampuan untuk memilih dan memilah mana yang perlu, dan yang tidak perlu.
Realita yang sukar diterima: kebanyakan orang bahkan tidak punya tujuan dalam hal keuangan. Semua mengalir saja. Semua diterima saja dengan pasrah. Atau pakai perasaan, kalau enak dan nyaman, bayar! Kalau tidak ada rasanya, nanti dulu, pikir dulu..... tidak mampu melihat apa gunanya.

Karena ketidakmampuan itu, maka orang mengambil keputusan keuangan yang keliru dalam banyak hal; orang tidak menyadari mana yang disebut kebutuhan primer, sekunder, atau tersier -- bahkan pengeluaran yang justru harus dijauhi karena merusak, seperti membeli rokok. Sementara itu, perjuangan keluarga untuk memenuhi segala keinginan hidup ada batasnya. Maka ada hal-hal yang perlu dan sebenarnya dibutuhkan, jadi dikorbankan. Demi beli beberapa bungkus rokok per hari, sekolah anak dikorbankan....

Maka betapa frustasinya menjadi Agen Asuransi yang berusaha menjual sesuai kebuthan. Ketika mulai berbicara perencanaan keuangan yang benar, sedikit saja yang mau mendengar.

Apakah karena Agen salah berbicara? Bukan, bukan, tapi karena pendengarnya merasa sulit untuk hidup dengan benar dan ideal seperti dalam gambaran Agen Asuransi atau Konsultan Perencana Keuangan.

Kebanyakan orang tidak merasa butuh untuk pengamanan Nilai Ekonomi dalam bentuk UP yang memadai. Sebagian besar karena tidak merasa punya Nilai Ekonomi, sebagian lagi merasa itu adalah miliknya yang akan dibawa mati. Kalau peristiwa kematian membuat Nilai Ekonomi berpindah kepada istri, misalnya.... nanti dipakai buat kawin lagi.... nggak rela kan? Nggak rela kan?

Sejujurnya, banyak juga Agen Asuransi yang memulai dengan kekacauan Perencanaan Keuangan. Jadi Agen Asuransi karena motif ekonomi mendapatkan pendapatan serta mengejar mimpi, bukan?

Tragedi terjadi ketika seorang Agen Asuransi meninggal dunia secara mendadak, dan ternyata tidak mempunyai Asuransi Jiwa yang memadai untuk menutupi biaya pemakamannya.

Jangankan bicara soal penggantian pendapatan. Untuk pemakaman saja masih belum cukup: bayar tanah pekuburan, sewa mobil jenazah, sewa tempat persemayaman, beli peti mati, beli jas baru dan biaya memandikan dan mengawetkan jenazah, lalu makanan untuk menjamu tamu yang datang melayat, juga menyewakan kamar hotel untuk tante dari luar pulau.... oh juga bayar hutang kartu kredit, yang belum dicover asuransi di kartu. Saat kematian datang tiba-tiba, ternyata semua manfaat asuransi kesehatan dan penyakit kritis itu tidak memberi apa-apa ya?

Walaupun tidak cukup, walau hanya 50 juta diterima, itu masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Keluarga hanya perlu menombok dua jutaan saja, disertai sedih dan derai air mata.

Agen Asuransi juga manusia biasa, bisa meninggal dunia tanpa aba-aba.

Kadang gemas, tapi mau bagaimana lagi. Banyak orang jadi Agen Asuransi karena tidak lagi bisa masuk ke ruang karir seperti yang tersedia untuk para sarjana muda itu. Menjadi Agen Asuransi bisa ditempuh dari segala golongan: ibu rumah tangga, pengangguran, orang menjelang pensiun yang kena PHK, atau salesman yang gajinya sudah mentok segitu saja.

Mana yang lebih mudah: membuat roti atau menjual Asuransi? Untuk serius belajar buat roti dan variasinya, butuh waktu paling sedikit seminggu lho. Itupun mungkin cukup berkeringat dingin belajar segala macam variasi bread improver, mulai dari pengatur keasaman, antioksidan, enzym, pendorong ragi, pelembut, pemodifikasi gluten, reduktioner, alkali dan garam untuk penguat gluten, pembuat rapat pori-pori.... oops.... maaf, ini Notes Asuransi ya, bukan Notes bikin Roti. Tapi, jadi Agen Asuransi kelihatannya sih lebih gampang.

Ikut training sebentar -- dari sekian banyak pertemuan untuk motivasi dan penjelasan komisi -- penjelasan tentang Asuransi secara utuh hanya tiga atau empat hari. Lalu ujian AAJI. Lulus, terus berjualan.... Jangan heran jika banyak kasus di mana penjelasan Agen tidak memadai. Karena memang tidak pernah disiapkan secara memadai.

Eh, bikin roti juga bisa dilakukan dengan adanya box premix instan. Tinggal cemplung, jadi! Begitu juga jadi Agen Asuransi, tinggal ikut satu pola tertentu dari manajer dan pimpinan, jadi! Pelajari cara ngomongnya. Pelajari cara pendekatan dan presentasinya.

Satu macam presentasi untuk semua orang. Ada naskahnya kok, makanya banyak Agen bicaranya bisa persis sama, seperti didikte. Hanya, tentunya masyarakat juga tidak sebodoh itu. Kalau ketemu satu agen bicara begini lalu beberapa hari kemudian ketemu agen lain bicara begini yang sama, lalu ketemu lagi.... jadi tahu kalau ada yang dihafal oleh semua orang-orang ini, bukan?

Bayangkan ada satu cara yang sukses dipakai oleh satu orang. Lalu karena orang kita ini suka latah dan meniru, disertai nasehat "tirulah orang yang berhasil," maka yang ditiru bukan tentang kebijaksanaan dan kejelian bisnisnya, melainkan cara bicaranya sampai titik koma.

Jaman sekarang sih tidak susah: mereka merekam video saat si orang sukses ini sedang presentasi di depan sebuah grup -- lantas video itu disebarkan dan orang-orang menghafal bagaimana ia berbicara, apa kata-katanya, seperti apa intonasinya. Itulah yang menjadi 'resep sukses' yang sudah terbukti berhasil. Terus dibahasakan dan disampaikan oleh banyak sekali agen.

Kata-kata menjual yang paling efektif pun, ketika dibuat menjadi massal, akan kehilangan daya tariknya. Baiklah.... para Agen kemudian mencari contekan yang lain, melakukan 'perubahan' dalam arti kini mengikuti gaya dan cara Agen sukses lain..... Itu cara instan, yang sedihnya tidak kunjung membuat pelakunya menjadi bertambah cerdas.

Saya sudah bertahun-tahun jadi Trainer, bertemu dengan orang yang sudah bertahun-tahun jadi Agen Asuransi, tapi ternyata dia masih belum juga mampu memahami seluk beluk Asuransi Jiwa secara mendalam. Apalagi memahami seluk beluk investasi, walaupun jualnya selalu Asuransi Unit Link, produk asuransi yang dikaitkan investasi.

Dengan semua kondisi ini, ada tiga hal yang bisa disimpulkan. Yang pertama, belum tentu harus menjual Asuransi Jiwa sesuai kebutuhan. Mungkin kita bisa menjual yang minimal, mungkin hanya untuk membayar biaya pemakaman. Tetap lebih baik ada tanggungan Asuransi, daripada tidak ada sama sekali.

Yang kedua, dengan keterbatasan dana, memang 'gelombang pertama' dari Agen adalah mencari komisi, yang menjual produk yang diharapkan menjadi pelindung pertama dan paling sederhana. Namun, tidak berarti kita menerima keadaan ini secara permanen -- tugas sebenarnya dari para Manajer dan Leader dalam Asuransi adalah untuk mengembangkan kompetensi Agen, menjadi gelombang kedua, ketiga, dan keempat. Sampai kapan mau membiarkan Agen Asuransi tetap seperti itu?

Maka, program yang merekrut secara besar-besaran -- bahkan tidak lagi mendaftarkan jadi Agen, tidak perlu sertifikasi AAJI, tidak perlu membuat kontrak profesional -- itu adalah program yang menjangkau banyak orang namun tidak tepat dalam jangka panjang. Network Marketing tidak tepat diterapkan di Asuransi Jiwa.


Yang ketiga, dengan keterbatasan awal, maka produk yang bisa ditawarkan juga merupakan produk Asuransi yang sederhana. Asuransi adalah proteksi; tidak boleh ditawarkan sebagai tabungan atau investasi. Agen yang sederhana tidak mampu menjelaskan tentang risiko berinvestasi. Akan menjadi suatu kesalahan jika menjanjikan suatu nilai, baik dalam tingkat return investasi atau lebih parah lagi, menjanjikan nanti di tahun ke sekian akan mendapatkan uang minimal sekian.

Sebagai konklusi, mari saya sedikit jelaskan risiko investasi, dalam kondisi yang mungkin terdengar ekstrim tapi bisa terjadi. Tahukah Anda, bahwa nilai aktiva bersih dari unit -- NAB, itu bisa naik dan turun tanpa batas, dalam periode yang cukup panjang? Mari saya beri ilustrasi.


Tn. A membeli polis Asuransi Jiwa Unit Link premi tunggal, di tahun keempat nilai unitnya sudah ada 30 juta. Itu diperoleh dari 2.142,8571 unit dengan NAV Rp 14.000,0003. Setiap tahun ada biaya Asuransi Jiwa dan Rider (COI dan COR) sebesar Rp 2,5 juta.

Pada suatu ketika, terjadilah krisis besar di Bursa Efek Indonesia karena ketidakstabilan Pemerintahan. Misalnya, terjadi suatu usaha makar atau kudeta terhadap Pemerintahan oleh sekelompok Jenderal yang didukung masyarakat kelompok garis keras radikal yang dapat dukungan dari Suriah. Terjadi kepanikan hebat. Ada pergerakan tentara di depan kompleks SCBD -- tempat Bursa Efek berlangsung.

Saat itu, semua investor memilih untuk melepaskan posisi, menjual seluruh saham yang dipegang pada harga BERAPAPUN juga. Indeks Harga Saham Gabungan melorot dari level 5500 jatuh ke bawah 1000, dan berhenti di angka 550! Tinggal 10% dari nilai semula, kehilangan 90% nilai bursa!

Risiko Investasi itu bisa seburuk itu, seperti terjadi pada beberapa reksa dana di tahun 2005.

Sekarang NAV menjadi sekitar 1400. Berapakah nilai investasi? Menjadi Rp 3 juta. Perusahaan Asuransi mencairkan unit untuk bayar COI dan COR, dengan besaran tetap Rp 2,5 juta, itu 1785,7143 unit. Tersisa hanya Rp 500ribu, atau 357,1428 unit.


Kudeta tidak berhasil, semua pelakunya terbunuh dan tertangkap. Pasar kembali tenang dan dana investasi kembali masuk. IHSG meningkat kembali, demikian juga dengan NAV naik di tahun berikutnya menjadi 7000. Dihitung dalam jumlah uang,berapakah nilainya? Rp 2,5 juta, dan itu diambil oleh Perusahaan untuk COI dan COR.

Tapi pada tahun berikutnya itu, dana yang tersisa mendekati nol, sangat kecil. Tanpa tambahan dana di tahun berikutnya polis akan lapse, berakhir.

Habis.

No comments:

Post a Comment