SEMUA BISNIS YANG BERTUMBUH CEPAT MEMBUTUHKAN LEVERAGE, untuk mendongkrak kapasitasnya. Leverage itu pada prinsipnya ada dalam empat macam: peningkatan modal, peningkatan jaringan kerja, peningkatan akuisisi teknologi dan informasi, dan peningkatan melalui peraturan. Yang paling umum adalah peningkatan modal finansial, yang caranya ada dua: pertama, dengan berhutang, dan kedua, menjual saham untuk menarik pemodal.
Duh, apakah terdengar akademik sekali?
Cerita mudahnya, ada seseorang mempunyai pabrik yang memiliki dua mesin tenun masing-masing dengan kapasitas misalnya 6500 meter per bulan, jadi total 13000 meter per bulan. Sekali waktu, orang itu menerima pesanan untuk menyediakan 18000 meter dalam satu bulan. Bagaimana cara menyelesaikan pesanan?
Kalau leverage keuangan, berarti bisa pinjam uang untuk membeli mesin ketiga (cara mudah), atau cari pemodal baru yang punya mesin untuk bergabung dalam usaha ini (cara susah).
Kalau leverage jaringan kerja, berarti cari perusahaan lain yang punya mesin sejenis dan bisa diberi order untuk mengerjakan bagian yang tidak bisa dipenuhi sendiri, 5000 meter kain lagi.
Kalau leverage teknologi, berarti modifikasi mesin yang ada sekarang, diganti yang kapasitasnya 9000 meter per bulan, mungkin dengan meningkatkan RPM nya, memakai tambahan teknologi mutakhir, sehingga apa yang dahulu mustahil, kini menjadi mungkin untuk dilakukan. Cari informasi ya.
Kalau leverage peraturan -- hubungi departemen perdagangan dan lakukan lobi sehingga jumlah pesanan maksimal 13000 meter dalam sebulan, kalau lebih dari itu diwajibkan untuk diteruskan dalam order berikut di bulan berikutnya.
Perhatikan, apapun leveragenya, semua mendatangkan tingkat risiko lebih tinggi. Hutang harus dibayar. Melibatkan pabrik lain (baca: pesaing) berisiko pelanggan direbut. Memakai teknologi baru mempunyai risio. Dan soal mengelola melalui hukum, berisiko pelanggaran hukum. Kemungkinan bahaya ini bermuara pada diri satu oang, yaitu Pemilik Perusahaan.
Jika sesuatu terjadi pada diri Pemilik Perusahaan, semua leveraging akan lenyap. Jika Pemilik Perusahaan meninggal dunia, hutang harus segera dilunasi. Hubungan jaringan kerja akan berhenti. Pengawasan atas penerapan teknologi baru tidak lagi berjalan, yang tahu caranya hanya si Pemilik. Tidak ada keberpihakan hukum pada orang yang telah meninggal.
Kita bisa membandingkan aset dengan nilai yang dibutuhkan. Jika kita melihat sebuah mesin dalam contoh di atas yang harganya Rp 5 Milyar, berapakah risiko yang ditanggung?
Kalau dilihat dari perbandingan modal kerja terhadap aset, kurang lebih besarnya modal kerja 20% - 30% dibanding nilai aset. Jadi, kalau asetnya Rp 5 Milyar, modal kerjanya Rp 1 Milyar - 1,5 Milyar. Bagaimana mendapat modal kerja? Kebanyakan dari hutang!
Sementara itu, dilihat dari harga mesinnya -- misalnya mesin itu diperoleh dengan modal sendiri Rp 1 Milyar plus berhutang sebesar Rp 4 Milyar, maka nilai bukunya di bulan pertama sekitar Rp 4,5 Milyar.
Pada saat si Pemilik Perusahaan meninggal dunia, bank terus menagih hutang yang Rp 4 Milyar itu. Anggaplah mesin terus dijual dengan harga Rp 4,5 Milyar, ada dana untuk bayar ke bank Rp 4 Milyar. Sisanya Rp 500 juta, tidak cukup untuk membayar hutang modal kerja.
Masalah juga timbul dari kegagalan memenuhi pesanan, seringkali ada perjanjian jual beli dengan ketentuan pengenaan denda kepada produsen yang gagal memenuhi order tepat waktu, apalagi jika sama sekali tidak berhasil memenuhi pesanan.
Semua itu karena Pemilik Perusahaan meninggal dunia tanpa diduga-duga. Agen Asuransi yang menolong berbisnis harus memahami natur dari leveraging, dan pengalihan risiko dapat dilakukan secara tepat kepada perusahaan asuransi. Dikatakan 'secara tepat' karena harus melihat posisi akunting yang berjalan saat ini tentang kas, aset, dan modal. Jika besar Uang Pertanggungan tidak mencukupi, masalah tidak terselesaikan.
Coba lihat pabrik punya Nasabah itu, nilainya mungkin... Rp 100 Milyar? Dengan working capital 20%, berarti modal kerja senilai Rp 20 Milyar. Sebagian dari bank, sebagian dari modal sendiri, dan sebagian lagi -- seringkali bagian terbesar -- disediakan oleh supplier dalam bentuk Account Payable alias piutang bahan baku. Beli bahan baku dikirim sekarang, bayarnya 45 hari lagi. Besar AP bisa mencapai 60% dari modal kerja, atau dari Rp 20 Milyar, piutangnya Rp 12 Milyar.
Butuh Asuransi Jiwa dengan UP sekitar Rp 12 Milyar untuk menutup diri Pemilik Perusahaan. Jika Pemilik mendadak meninggal dunia, tagihan di bank selesai (biasanya kredit bank disertai asuransi jiwa yang diwajibkan bank, bukan?) dan UP yang terbit bisa langsung membayari semua supplier.
Buat keluarga? Masih ada pabrik yang masih beroperasi, walau tentu tidak lagi seperti semula. Setidaknya, tidak perlu pusing memikirkan tagihan-tagihan yang mendadak muncul....
Jika Anda adalah seorang Pengusaha, ada baiknya untuk mulai berhitung berapa sebenarnya kebutuhan Asuransi Jiwa Anda demi menutup efek leveraging yang Anda lakukan. Kalau sukar atau belum memahaminya, hubungilah Agen Asuransi yang berkompeten....
Sampai besok lagi....
PS: bahan-bahan ini bagian dari Manajemen Strategik
Catatan tentang Asuransi di Indonesia ini merupakan kumpulan posting di facebook.
Consultation
Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.
Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.
No comments:
Post a Comment