Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Tuesday, September 13, 2016

Kebenaran Membebaskan

KEKHAWATIRAN TIDAK BERIMAN masih jadi penghalang orang untuk berasuransi. Pembicaraan yang terdengar adalah, bahwa kita tidak boleh percaya dan berharap pada dunia. Harusnya percaya pada Tuhan saja, bukan pada segala macam asuransi jiwa. Jadi, kalau bicara tentang Asuransi Jiwa sebagai bagian dari iman, terdengar seperti memanfaatkan agama untuk jual Asuransi Jiwa.

Agak mengkhawatirkan, sebenarnya, jika menyikapi Asuransi Jiwa dari sudut kepercayaan. Seolah-olah ada persaingan antara percaya pada Tuhan atau percaya pada Asuransi Jiwa. Kalau sudah begini, sekalipun seorang menaruh kepercayaan kepada Asuransi Jiwa, itu juga salah! Yang benar adalah menaruh kepercayaan kepada Tuhan saja. Hanya kepada-Nya kita percaya dan meletakan harapan kita akan masa depan.

Lantas, kalau begitu tidak perlu mempercayai Asuransi Jiwa, dan tidak perlu ikut Asuransi Jiwa? Itu juga penarikan kesimpulan yang salah.

Penentunya adalah kebenaran. Dasarnya adalah realita: lihatlah realita di sekeliling kita. Realitanya orang bisa mengalami sakit, hingga meninggal dunia. Realitanya orang bisa mengalami kecelakaan. Kadang-kadang bisa terjadi dalam satu rumah, adik dan kakak sama-sama menderita demam berdarah serius dan sama-sama harus dirawat di rumah sakit. Nyamuk itu mengigit tanpa pandang bulu....

Realitanya, kita hidup di dunia yang berisi peristiwa musibah. Realitanya, banyak kemungkinan di mana suatu peristiwa musibah membebani korban dengan biaya yang besar dan memiskinkan orang. Hanya sedikit orang yang punya keuangan sedemikian besar, sehingga apapun yang terjadi dapat dibayarnya sendiri dengan keuangannya yang besar itu.

Sebagian besar harus menghadapi kesulitannya. Kebersamaan seseorang dengan Tuhan tidak menjadikan dirinya kaya raya secara otomatis. Kebenaran tentang berkat Tuhan adalah, bagaimana orang dimampukan untuk menghadapi apapun yang terjadi.

Berasuransi pada prinsipnya adalah melakukan apa yang sanggup ditanggung, untuk mengantisipasi suatu beban yang tidak sanggup ditanggung. Realitanya, orang bisa mengatur diri untuk sanggup membayar premi, namun mungkin tidak sanggup jika harus membayar beban tagihan rumah sakit. Kebenaran di dalam berasuransi adalah mengakui keterbatasan diri dan mengantisipasi munculnya suatu beban yang tidak dapat ditanggung -- atau kalaupun ditanggung itu akan merusak seluruh kehidupan.

Kebenaran tentang berasuransi bukan soal mencari keuntungan, atau meningkatkan kekayaan -- sekalipun saat ini investasi dijadikan bagian dari berasuransi.

Jika kita berpegang pada kebenaran ini, maka kita mendapati tiga hal.

Pertama adalah fakta tentang berapa besar kemampuan kita membayar premi. Tidak bijaksana menyisihkan setengah dari pendapatan kita untuk membayar premi; ada hal-hal yang harus dilakukan seperti berinvestasi dan menabung. Kita juga harus membangun masa depan kita, dengan menabung di bank dan berinvestasi di reksa dana. Kebenaran dalam pengaturan keuangan adalah pokok pertama dan utama, sebelum hal-hal lainnya.

Kedua adalah fakta tentang apa saja manfaat asuransi jiwa yang bisa kita peroleh. Realitanya kita membutuhkan manfaat saat meninggal dunia DAN juga manfaat selagi masih hidup, seperti asuransi kesehatan. Tidak bijak jika menyalurkan seluruh porsi dari dana yang disisihkan hanya untuk satu aspek, mengesampingkan aspek lainnya.

Ketiga adalah kebenaran tentang standar hidup apa yang kita tetapkan. Ada orang yang baik-baik saja jika masuk Rumah Sakit terus dirawat di kelas tiga. Ada orang yang sudah merasa cukup jika saat meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkan tidak perlu membayar biaya pemakaman, semua sudah disediakan asuransi jiwa. Yang lainnya tidak bisa menerima jika pelayanan medis hanya kelas tiga. Juga tidak bisa membiarkan keluarga yang ditinggalkan mengalami susah, ia meninggalkan cukup dana untuk beberapa tahun pertama setelah meninggal bisa hidup secara normal walau tidak ada yang bekerja.

Kebenaran itu membebaskan kita dalam pemahaman yang utuh, bukan berdasarkan pandangan atau kepercayaan. Jika pikiran benar, perkataan benar, dan perilaku benar, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat orang mempertanyakan keputusan berasuransi. Namun, jika alasan berasuransi itu salah, seperti karena sungkan, karena gengsi, atau alasan yang dibuat-buat lainnya, banyak hal yang harus ditanggung dan menjadi ikatan.

Sekarang kembali kepada iman. Jika kita memandang iman, syarat pertama adalah adanya kebenaran dalam beriman. Seseorang tahu di dalam dirinya, jika apa yang diimaninya adalah hal yang benar atau hanya sesuatu yang diberitahukan untuk dipercaya. Orang juga tahu bila dirinya sedang menyatakan kebenaran atau suatu rekayasa untuk meraih simpati pendengar. Tidak ada seorangpun dapat mengimani hal yang ia ketahui merupakan kebohongan atau dusta.

Orang bisa berdusta, bahkan dengan memakai alasan yang terdengar agamawi rohani. Ketika orang itu ditawari Asuransi Jiwa, mungkin di dalam hatinya ia merasa enggan untuk menyisihkan dana membayar premi, karena ingin memakainya untuk keperluan lain. Tetapi ia bisa mengatakan kepada si Agen, bahwa Asuransi Jiwa ini tidak sesuai dengan keyakinan imannya.

Masalahnya, alasan itu tidak benar, tidak sesuai kenyataan. Maka dibutuhkan suatu dorongan, suatu pengikatan tambahan -- seringkali emosional untuk menolak. Apakah yang ditolak? Dapatkah orang menolak realita tentang risikonya sendiri?

Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk tidak membuat rencana antisipasi atas suatu musibah. Alasan untuk tidak ikut Asuransi apapun, termasuk BPJS Kesehatan yang sebenarnya diwajibkan Pemerintah. Alasannya adalah agama, diharamkan, dan sebagainya.


Dapatkah orang membuat alasan untuk tidak membayar tagihan Rumah Sakit, setelah tiba-tiba ia mengalami nyeri dada hebat, yang kemudian didiagnosa sebagai angina pectoris, serangan jantung? Ia harus dirawat, dan menginginkan perawatan kelas utama, menginginkan perawatan terbaik. Tapi tidak memiliki cukup uang, tidak cukup hartanya untuk membayar tagihan sebesar itu.

Bisakah menawar tagihan Rumah Sakit?

Sampai besok lagi.....

No comments:

Post a Comment