Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Wednesday, August 3, 2016

Next Generation

BANYAK USAHA DILAKUKAN UNTUK MEMBERIKAN PENDIDIKAN, dan itu menjadi suatu pengorbanan besar bagi ayah dan bunda. Bulan lalu saya sudah pernah menulis tentang rencana pendidikan anak yang menghitung berapa kebutuhan pendidikan anak di masa depan. Inilah yang menjadi tantangan banyak orang di Indonesia.... dan apa yang menjadi ujungnya?



Satu kisah dari masa lalu, ketika masih berseragam abu-abu SMA, yang masih seru-serunya warna warni jadi anak remaja. Seperti biasa, ada saja yang pinter, alim, tekun nan rajin belajar. Juga ada anak yang heboh, nakal, malas belajar. Guru melihat semuanya sama: putih abu-abu, maka yang malas dan bikin ulah itu selalu jadi sasaran kemarahan. Nggak bikin PR, bolos, nyontek....

Perjalanan waktu berlalu cepat. Yang di SMA rajin menjadi juara, lantas mendapatkan jalur cepat untuk masuk kuliah ke perguruan tinggi negeri. Yang anak orang kaya, sudah lulus SMA dilanjutkan dengan kuliah di Singapore, belajar manajemen bisnis. Menarik untuk melihat apa yang mereka pelajari: yang satu belajar ilmu pengetahuan tentang ekonomi, statistik, dan manajerial operasional. Yang satu lagi belajar tentang manajemen sumber daya manusia, manajemen finansial -- kelola modal dan hutang dan saham.... tapi lebih banyak menghabiskan waktu bergaul di Singapore.


Mereka sama-sama lulus tahun 1997. Di tahun 1998, terjadi kerusuhan dan banyak usaha yang bangkrut, tertarik oleh krisis kredit macet perbankan, yang bikin bank tutup dan deposito tidak bisa ditarik. Kedua orang ini sama-sama mengalami kebangkrutan keluarga. Di tahun 1999, juga terjadi hal yang serupa: ayah mereka sama-sama meninggal dunia. Yang satu stroke, yang lain mengalami serangan jantung.

Sampai di sana saja kesamaannya. Perbedaannya, ayah si anak yang pandai itu hanya mewariskan rumah dan kendaraan serta sedikit tabungan. Ayah si anak yang gaul mempunyai asuransi jiwa dalam mata uang USD, memberikan nilai klaim sebesar $100.000. Dengan kurs kurang lebih $1 = Rp 7800, keluarga anak itu di tahun 1999 menerima Rp 780 juta. Kalau dihitung nilainya di masa kini dengan inflasi 8%, nilai saat ini kira-kira sebesar Rp 2,886.Milyar. Selain itu, tentu juga ada warisan rumah dan kendaraan serta sedikit tabungan di bank.

Yang terjadi kemudian, si anak yang menerima warisan itu, terus membuka usaha dengan modal dari sebagian uang pertanggungan asuransi. Si anak yang pintar itu terus direkrut untuk bekerja bagi si anak yang kaya. Pada akhirnya, dengan bertumbuhnya usaha sepanjang tahun 2000-2005, kekayaan anak kaya kembali, bahkan lebih daripada sebelumnya. Bagi si anak pintar, dia harus cukup puas menjadi General Manager yang sibuk bekerja.

Nasib orang, siapa tahu? Kita tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Siapa menyangka bahwa krisis moneter begitu keras melanda Indonesia? Siapa menyangka ayah akan meninggal dunia sebelum sempat melihat anaknya menikah?

Tetapi, perbedaan bisa terjadi karena ayah yang satu mengantisipasi musibah dengan asuransi jiwa, sedang ayah yang lainnya tidak. Yang satu mengelola risiko, yang lain membiarkan situasi apapun terjadi. Itu bukan nasib; itu adalah pilihan dan keputusan.

Kita menjadi orang tua yang baik dengan memberikan pendidikan -- tetapi untuk menjadi pengusaha, yang dibutuhkan secara mendasar adalah MODAL. Pengetahuan dan keterampilan bisa diperoleh dari mempekerjakan orang-orang yang terampil dan pintar. Kalau ada modal, ada pilihan untuk merekrut orang dan membayar mereka, supaya hasil kerja mereka menjadi nilai tambah. Kalau tidak ada modal, anak harus berjuang dengan kemampuan dirinya sendiri, mengumpulkan modalnya sendiri. Bukan buruk, tetapi menghabiskan waktu.

Lagipula, banyak orang akhirnya menjadi karyawan saja sepanjang hidupnya, dan anak-anak mereka pun dipersiapkan menjadi karyawan juga. Berusaha jadi karyawan terbaik yang dipuji oleh bos pemilik perusahaan. Bukan bermimpi jadi pengusaha.

Sayangnya, dari tahun ke tahun, kehidupan menjadi karyawan semakin sukar. Kenaikan harga lebih tinggi daripada kenaikan gaji, yang berarti standar hidup terpaksa menurun. Bagi karyawan tidak banyak peluang; walaupun ia bekerja lebih keras lagi, gajinya tiap bulan masih tetap sama, sampai di awal tahun berikutnya.

Bagaimana orang tua bisa menyediakan modal? Apa yang diwariskan oleh kita sebagai orang tua bagi anak-anak kita?

Dalam kisah lain, yang terjadi justru sebaliknya. Dahulu saya mengenal seorang anak muda yang rajin dan bersemangat, dari hanya lulusan SMA ia bekerja dengan baik dan cerdas hingga bisa menjadi asisten Kepala Bagian. Dari hanya naik angkutan kota, ia bisa terus mencicil sepeda motornya sendiri. Usianya baru 20 tahun!

Pada suatu hari, saya menemukan ia kembali naik angkot. Apa yang terjadi? Rupanya keluarganya semua sedang prihatin karena kakeknya masuk Rumah Sakit dan butuh dana besar untuk perawatan. Ratusan juta. Keluarga besar semua berkumpul, semua anak-anak dan juga cucu menguras tabungan dan menjual aset, seperti sepeda motor, supaya bisa patungan membayar biaya rumah sakit Kakek, yang berusia 70-an.

Sebaliknya dari memberi warisan, Kakek ini di masa tuanya tanpa sengaja dan tanpa sadar menghabiskan dana keluarga. Kebaikan keluarga seperti ini sebenarnya luarbiasa, sama sekali tidak salah atau keliru. Ini adalah kebaikan dan kekompakan keluarga yang mengagumkan!

Hanya, alangkah baiknya jika semua situasi ini bisa dipahami dan diantisipasi. Toh menjadi tua adalah suatu hal yang pasti -- hanya ada dua pilihan kan, menjadi semakin tua atau mati. Apakah kita akan senang jika nanti di saat kita tua, justru kita menghabiskan dana milik anak-anak, sedangkan kita sendiri tidak bisa memberikan warisan apa-apa?

Kita masih punya generasi berikutnya. Apa yang kita perbuat bagi mereka?

Sampai besok lagi....

No comments:

Post a Comment