Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Monday, August 29, 2016

SOCIAL COHESION

BANGSA INDONESIA DAHULU ADALAH BANGSA YANG GEMAR BERKUMPUL. Ini adalah budaya kita, di mana gotong royong dilakukan di segenap penjuru, menjadi suatu cara hidup yang menjadi ciri kita. Kalau diperhatikan lebih lanjut, gotong royong itu bukan terjadi secara acak, melainkan terjadi di dalam satu grup, di mana semua termasuk, semua terinspirasi, dan semua terlibat. Para ahli sosial mengatakan bahwa ikatan yang membuat grup bersatu, adalah apa yang disebut social cohesion, atau group cohesiveness.

Secara longgar kita bisa mendefinisikan social cohesion sebagai komitmen pada tugas dan ketertarikan antar individu di dalam grup, untuk bersama-sama menjadi sejahtera. Suatu kecenderungan grup untuk tetap bersama-sama berjuang mencapai tujuan bersama, serta memenuhi kebutuhan emosional seluruh anggotanya. Satu contoh adalah pemandangan di sebuah dukuh yang sedang memasuki masa panen. Seluruh keluarga bahu membahu bekerja melakukan panen, satu keluarga membantu keluarga yang lain, hingga panen selesai. Setelah itu mereka bersukaria, mereka memasak makanan pesta dan menari -- saat yang bagus bagi para pemuda dan pemudi untuk berpasangan, menikah, dan meneruskan kehidupan dukuh yang tenteram.

Apakah kalau sedang panen, semua orang turun ke sawah untuk menuai padi? Tidak, ada yang mengurus transportasi. Ada yang mengurus lumbung. Ada yang mengurus penggilingan padi. Ada yang mengurus karung-karung untuk menyimpan beras. Ada yang mengurus penjualan. Ada yang menjaga keamanan. Dan sebagainya, dan seterusnya. Walaupun tugas berbeda, seluruhnya mempunyai perasaan berada dalam satu grup yang bersatu. Ada si orang kaya yang menjadi pedagang, beli dari petani, jual kepada pengumpul di kota. Ada si kumis jagoan yang menjadi pengamanan hasil panen dari kawanan begal.

Si saudagar beras, si petani, si kumis,si mbok yang masakannya enak bukan main -- semuanya merasa menjadi bagian dari warga dukuh, bangga sebagai bagian di dalamnya. Mereka akan berjuang bagi dukuh itu; bertahan melalui masa-masa paceklik, masa-masa hama, masa-masa banjir. Bergembira bersama dalam masa-masa banyak rejeki.

Bagaimana perasaan kita membaca penuturan tentang dukuh yang tenteram di atas? Siapa yang bertanya dalam hati, "ini si donny lagi bahas dukuh di tahun berapa sih?"

Saya bisa menunjukkan bahwa social cohesion juga terjadi di perkotaan. Ada group dari sesama perantau dari satu wilayah yang sama, entah itu perantauan Batak, atau Minang, atau Menado, atau Toraja, atau Papua.... atau daerah manapun juga. Mereka tinggal di kota, dan bersama-sama berjuang untuk hidup di kota besar. Mereka saling bantu, saling bekerja sama. Kalau ada yang sakit, semua urunan, patungan, kumpul uang untuk membayari rumah sakit.

Tetapi, adakah perasaan bahwa apa yang dituliskan di atas sudah tidak lagi berlaku, tidak lagi terjadi? Dimulainya pada tahun 1998, ketika bangsa Indonesia menyadari tentang sesuatu yang disebut krisis moneter. Bertahun-tahun terlena dalam kebobrokan sistem yang korup, membuat perbankan mengalami krisis kredit yang tidak dilunasi. Membuat begitu banyak bank tutup, dan yang bertahan harus dimerger. Krisis moneter mengikis social cohesion.

Hari ini, seberapa banyak orang bekerja sama untuk menyelenggarakan peristiwa penting dalam kehidupan? Mau menikah, sekarang semua dikelola oleh WO. Soal makanan, ada katering yang sangat terspesialisasi untuk acara, spesialis pernikahan, atau spesialis acara kantor. Semuanya berdasarkan transaksi, jual beli jasa profesional. Tidak ada lagi tempat bagi tetangga yang masih amatiran membuat kue pengantin.

Mungkin dulu masih ada yang memakai baju pengantin buatan tetangga, dan beli kue pengantin buatan teman di belakang rumah yang baru saja kursus. Dahulu. Sekarang, semuanya beli. Yang buat baju, yang buat kue,semuanya juga menjual produk akhir. Siapa yang masih mau mengerjakan dengan diberi modal yang cukup hanya untuk beli bahan bakunya saja?

Perlahan-lahan, social cohesion digantikan oleh economic activity. Orang bukan bergotong royong, melainkan saling menjual dan membeli, entah barang maupun jasa, untuk apa saja. Apakah Anda merasa lebih familiar dengan situasi seperti ini? Sekarang, apapun bisa jadi transaksi jual beli, bahkan di antara saudara sendiri...

Lalu, datanglah asuransi jiwa.

Dalam konteks gotong royong yang berabad-abad menjadi ciri bangsa, asuransi jiwa hanyalah suatu pilihan, suatu opsi. Bagi orang Indonesia, jika mengalami musibah, bisa bergantung pada keluarga besar, pada dukuh, bergantung pada social cohesion yang ada. Jika ada yang mengalami musibah,yang lain dengan mudah dan cepat mengeluarkan dompet dan mengumpulkan dana yang cukup besar.

Maka tidak butuh asuransi jiwa?

Kita masih mempunyai sisa-sisa masa lalu, ketika ada bencana dan dibuka dompet kemanusiaan -- dana yang terkumpul itu besar, mempunyai arti yang signifikan. Namun, setelah beberapa kali sukses mengumpulkan dana, semakin lama jumlah dompet yang dibuka makin banyak namun nilai uang terkumpul semakin kecil. Tidak lagi cukup signifikan.

Ketika memikirkan tentang asuransi jiwa, masih banyak yang melihat ke masa lalu, ke saat-saat social cohesion tinggi, dan kerja kelompok adalah suatu kebiasaan. Namun memandang masa kini, yang nampak adalah social cohesion rendah, dan setiap individu bertanggung jawab untuk mengembangkan kesejahteraannya sendiri.


Pernah dengar slogan, "SUCCESS DEPENDS ON YOU" ...betul? Biasa dibawakan oleh para motivator masa kini.

Satu dekade lalu, kata-kata ini terasa aneh. Bagaimana orang bisa sukses sendiri? Kesuksesan tidak bergantung pada usaha satu individu, melainkan pada usaha bersama, kerja kelompok, gotong royong! SUCCESS DEPENDS ON US!

Tetapi kita sekarang merasa kata-kata ini biasa, kesuksesan memang bergantung pada diri kita sendiri. Ini juga berarti MUSIBAH DITANGGUNG DIRI KITA SENDIRI. Dan itu adalah notasi yang kejam, orang yang mengalami musibah yang tidak diduganya, harus berjuang menanggung semuanya.

Begini, jika orang gagal karena ia salah bertindak, maka.... tanggunglah sendiri. Namun jika ia terkena musibah, seperti jatuh sakit karena kurang baik menjaga kesehatan oleh banyaknya beban kerja, satu kali masuk rumah sakit itu bisa menguras seluruh tabungan. Jika orang telah mempunyai anak dan istri, satu musibah kecelakaan karena ditabrak pengemudi truk yang mengantuk -- nyawa hilang, begitu pula dengan hilangnya segala kesejahteraan bagi istri dan anaknya.

Asuransi Jiwa adalah solusi untuk kehidupan yang individualistis. Semakin banyak kita masuk dalam masyarakat global, semakin banyak pula kita masuk dalam trend individual. Penyebabnya karena semakin besar 'pertemuan' pasar, pilihan orang menjadi semakin beragam. Orang di kampung mungkin mempunyai satu acara saja saat ganti tahun. Orang di kota mempunyai amat sangat banyak kemungkinan acara saat perayaan tahun baru. Tiap orang bisa memilih acaranya sendiri, sesuai seleranya sendiri.

Bagaimanapun, memilih cara hidup sendiri adalah hak asasi manusia. Tidak ada yang dapat merampasnya dari manusia.yang merdeka. Konsekuensinya, orang harus menanggung risikonya, kecuali ia memiliki Asuransi Jiwa. Dengan membayar premi kecil, ia bisa mengalihkan risiko yang besar dalam kehidupannya.

Penurunan social cohesion adalah trend yang tidak dapat dicegah. Semakin hari, menjadi semakin melemah -- kini orang membuat grupnya sendiri secara virtual dengan social media, dengan gadget. Tetapi social media dan virtual group tidak akan menanggung risiko riil yang terjadi dalam kelompok. Kalau Anda ikut grup dalam Whatsapp, misalnya, apakah saat Anda masuk rumah sakit lantas semua anggota grup akan mengumpulkan uang untuk menutup biayanya?

Tidak kumpul uang, tentunya, tapi pasti memberi kata-kata turut prihatin dan get well soon.

Semoga tulisan ini bisa menyalakan sesuatu dalam diri kita semua. Kita bisa kembali pada social cohesion -- asal kita bersedia berjuang bersama, untuk tujuan bersama, menuju idealisme yang sama. Atau, jika dalam kenyataannya kita semua bersepakat untuk tidak sepakat, setiap orang mengusahakan kesuksesannya menurut idealismenya sendiri -- maka, Asuransi Jiwa adalah alat yang tidak bisa diabaikan.

Temukanlah Agen Asuransi yang kompeten dan mampu memahami seperti apa kehidupan Anda, dan seperti apa Asuransi Jiwa yang Anda butuhkan.

Sampai besok lagi...

No comments:

Post a Comment