Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Saturday, August 27, 2016

Perencanaan Warisan

KEHIDUPAN SEPERTI APA YANG TIDAK MENINGGALKAN APA-APA? Namun, banyak orang di Indonesia tidak meninggalkan apa-apa bagi keluarganya. Kehidupan yang dimulai, dijalani, lalu diakhiri di liang lahat. Selesai. Apa yang dilakukan atau mau dicapai oleh keturunan? Itu urusan mereka sendiri. Itulah egosentrisme.

Dalam pandangan ini, yang penting adalah mencintai kehidupan dan menjalaninya sendiri. Yang penting bisa bekerja dan membangun status, sehingga ada yang memberi hormat selagi masih hidup. Kalau sudah mati, siapa yang tahu apakah orang-orang masih mengingatnya? Yang penting selagi masih hidup sekarang, orang-orang menghormati dan mengagumi kekayaannya, serta takut pada kekuasaan yang dimilikinya untuk mengatur hidup orang lain. Semuanya berpusat pada diri sendiri.

Walaupun orang yang demikian merasa nyaman dengan posisi dan kedudukan serta pengaruhnya, pada akhirnya semua itu: jabatan, pangkat, serta pengaruh, akan berakhir. Orang yang sudah meninggal mungkin bisa menginspirasi orang lain, tetapi tidak bisa memerintah. Bayangkan, kalau sudah meninggal tapi masih mau mengatur.... yang datang adalah arwah gentayangan. Orang-orang akan berlarian ketakutan.

Apa makna kehidupan seperti itu, jika ditakuti, tapi tidak dicintai? Apa maknanya hidup, jika orang-orang bergembira karena kita sudah meninggal dunia? Dan orang-orang itu bukan mereka yang jauh! Mereka adalah keluarga sendiri, teman dekat, handai taulan. Seperti apa hidup, jika keluarga sendiri diam-diam bergembira karena orang ini meninggal dunia?

Orang bisa memilih apapun keyakinan dan perilaku yang hendak dilakukan. Tapi, tidak ada yang dapat mengingkari konsekuensinya. Orang mati tidak bisa memprotes, jika mereka yang hidup terus mengabaikan dan melupakannya. Sementara itu, harta yang semula begitu disayang, begitu dijaga, begitu diperhatikan -- semua itu tidak berarti dalam kematian, semuanya ditinggal.

Seandainya kehidupan benar-benar hanya berakhir saat kematian, tidak ada lagi cerita. Sudah, selesai. Tidak ada maknanya untuk hidup baik atau benar atau berarti. Yang mati terus hilang berlalu. Namun, bila ada kebangkitan setelah kematian, bila apa yang sekarang diperbuat mendatangkan konsekuensi di dalam masa yang tidak akan ada akhirnya..... banyak hal yang harus dipikirkan.

Orang memiliki makna hidup karena adanya cinta. Jika ada sesuatu yang dapat dibawa melampaui garis kematian, hal itu adalah cinta, dari cinta kepada Tuhan, cinta kepada keluarga, cinta kepada sesama manusia dan kemanusiaan. Di dalam cinta itu, kita hidup, kita bergerak, kita bekerja memberi nilai, menambah nilai, dan menyerahkan nilai.

Hasil dari kita bekerja menjadi sumber kehidupan, serta menjadi harta atau aset yang terakumulasi sepanjang jalan produktivitas. Orang-orang yang bekerja mengumpulkan harta dalam dua bentuk: harta pribadi dan harta bisnis. Harta bisnis ada yang mengurusi, yaitu mereka yang bekerja dalam bisnis. Harta Pribadi? Mari kita lihat dan perhatikan apa yang terjadi dengan harta pribadi.

Kenyataannya, banyak juga orang pemilik harta yang tidak mengungkapkan hartanya ada berapa banyak, sampai tiba saat ia menjadi tua dan tidak lagi kuat bekerja. Anaknya tiba-tiba diberi beban untuk mengurus kekayaan ini, ada yang diberi urusan deposito, ada yang diberi urusan rumah. Bukan "diberi" sebagai milik, melainkan mendapat tugas untuk mengurus harta.

Itu adalah pertanyaan yang kemarin diajukan dalam seminar Tax Amnesty, "Ayah saya taruh depositonya atas nama saya, bagaimana saya harus lapor TA atau tidak..." Masalahnya bukan tentang administrasi pelaporan, melainkan kejatuhan beban harus bayar uang tebusan. Lha ini, uang Bapaknya, tapi kok anak yang harus bayar tebusan, padahal si anak sedikitpun tidak berani menyentuh duit pada deposito yang dibuat atas namanya itu. Rumit.

Dalam kasus lain, si ayah tidak pernah memberi tahu dia mempunyai harta apa saja. Ada seorang yang cukup kaya, di mana istrinya hanya tahu ada dua kartu ATM dan beberapa kartu kredit yang setiap bulan selalu dibayar penuh melalui auto-debit rekening. Orang kaya ini meninggal mendadak karena serangan jantung, lantas bagaimana keluarganya?

Tidak ada asuransi jiwa. Banyak orang yang kaya merasa sudah cukup dengan depositonya di bank, tidak perlu punya asuransi jiwa. Buat apa? Kan depositonya juga milyaran! Tapi, karena depositonya milyaran, itu juga disembunyikan, supaya tidak jadi sasaran tembak anak-anak (atau istri yang gemar belanja). Mungkin rencananya, nanti saja kalau sudah tua, baru diungkapkan. Sayangnya Tuhan berkehendak lain, ia lebih cepat meninggal dunia.

Anak istrinya tidak tahu apa kekayaan yang dimiliki sang ayah. Mereka pergi ke bank, mau mencari tahu soal rekening apa saja yang dimiliki. Apakah mudah untuk mencari tahu?

Ternyata, pihak bank tidak serta merta membuka data. Mereka harus diberi penegasan bahwa inilah ibu dan anak yang sepenuhnya berhak sebagai ahli waris. Jika jumlah rekeningnya besar, harus dari penegasan pengadilan, Apakah bank dengan mudah mau mengungkapkan dan mencairkan? Tidak selalu. Pernah dengar kasus di mana bank tidak mau mencairkan harta warisan atas dasar perbedaan jenis rekening? Yang bikin rumit, ternyata ada pihak lain yang juga mengklaim sebagai pemegang hak waris....

Jangan cepat-cepat menyalahkan bank, atau berburuk sangka. Bayangkan, bank harus memegang harta sampai ada kejelasan tentang siapa yang menjadi ahli waris. Mereka membuat sebuah logika: kalau jadi ahli waris harusnya tahu seperti apa warisannya. Sayangnya, banyak ahli waris yang tidak tahu! Tapi, ketika ada tuntutan dari beberapa pihak kepada Bank dan mengklaim bahwa harta di rekening itu adalah warisan mereka -- bank tidak bisa memberikan kepada pihak manapun juga, sampai diputuskan pengadilan.

Mencari harta yang ditinggalkan adalah suatu babak perjuangan. Mencairkan harta yang ditemukan adalah babak perjuangan lainnya. Sepanjang waktu itu, nilai waktu dari uang terus berjalan, padahal belum tentu bank masih mau memberikan bunga atas rekening dalam sengketa. Akan membingungkan, jika bunga masih dikenakan, bukan?

Jika benar-benar mencintai keluarga, pikirkanlah bahwa seluruh kendali atas harta akan hilang pada saat kematian terjadi. Di waktu kendali hilang, itu tidak langsung berarti akan pindah tangan ke orang yang mengklaim sebagai ahli waris. Pertama-tama harus dipastikan bahwa tidak ada ahli waris lainnya, lalu harus dipastikan pembagian hartanya. Sepanjang proses itu, kendali atas harta berpindah ke proses hukum.

Pikirkanlah kesulitan yang dimiliki. Oke, jadi tidak taruh harta berupa deposito, melainkan properti?

Itupun masalah. Pernah berhitung berapa besarnya Biaya Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (alias BPHTB) yang dikenakan berdasarkan NJOP? Juga harus hitung berapa hutang PBB yang tertunggak beserta dendanya. Juga harus hitung berapa biaya untuk pengacara yang mengurus penetapan hak waris atas properti. Semua membutuhkan biaya.

Perencanaan warisan dibutuhkan sebagai solusi, dimulai dari pengaturan portofolio harta, klasifikasi, serta perhitungan masa depan. Polis Asuransi Jiwa sangat bermanfaat untuk:
- Menyediakan dana biaya final
- Menyediakan dana untuk pengalihan harta pada saat pewarisan
- Menyediakan dana untuk keperluan pengurusan hukum waris
- Menyediakan dana untuk pelunasan hutang
- Menyediakan dana untuk perpajakan
- Menyediakan dana untuk kebutuhan tertentu
- Menyediakan dana sebagai warisan

Ada banyak detail di sini. Pastikanlah Anda dilayani oleh Agen profesional yang memahami Estate Planning, hukum waris, serta memahami berbagai instrumen keuangan serta ketentuan kepemilikan properti, untuk menentukan rencana warisan yang paling baik.

Sampai besok lagi....

No comments:

Post a Comment