Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Thursday, July 14, 2016

Asuransi Penyakit Kritis

ASURANSI PENYAKIT KRITIS MUNGKIN merupakan rider atau manfaat tambahan yang paling banyak di salah-artikan. Salah paham karena konteksnya adalah dalam kondisi sakit -- jadi dianggap sama saja dengan asuransi atas biaya rumah sakit.
Pertama, perlu dipahami bahwa yang ditanggung oleh asuransi penyakit kritis adalah nilai ekonomi tertanggung yang hilang karena penyakit kritis. Oleh karena nilai ekonomi ini dalam polis dibatasi oleh Uang Petanggungan Dasar (yaitu UP yang keluar jika meninggal), maka penanggungan terjadinya penyakit kritis tidak dapat melampaui UP Dasar.
Kedua, asuransi penyakit kritis dapat diklaim berdasarkan DIAGNOSA MEDIS. Perlu dipahami bahwa seorang dokter akan berusaha untuk "menegakkan diagnosa" terhadap pasiennya. Untuk itu akan dilakukan serangkaian pengamatan dan pengujian, sampai diagnosa ditegakkan. Ketika kesimpulan telah diambil, atau "diagnosa ditegakkan" bahwa tertanggung menderita salah satu penyakit, maka klaim bisa dilakukan. Dokumen yang perlu diberikan adalah rekam medis yang mengarah pada kesimpulan tersebut.
Jadi, tidak bisa hanya merasa / menduga, lantas melakukan klaim... walau, ada juga kondisi yang sangat nyata seperti terkena stroke yang terus membuat lumpuh.
Ada yang bilang, tidak perlu asuransi penyakit kritis. Coba katakan itu pada mereka yang tiba-tiba saja terjatuh, karena terjadi pecah pembuluh darah di otak (istilahnya: intracerebral hemorrhage stroke), lantas menjadi lumpuh total. Banyak yang tak lama kemudian terus meninggal, namun ada juga yang tetap hidup dalam keadaan lumpuh, sampai bertahun-tahun. Mereka dirawat di Rumah Sakit hanya beberapa hari, setelah itu pulang dalam keadaan lumpuh, di rawat di rumah.
Tidak meninggal dunia, masih bisa berinteraksi secara ganjil. Sama sekali tidak bisa bekerja. Tidak menghasilkan apa-apa, sebaliknya memakan banyak biaya perawatan. Tabungan hampir habis.... kemudian diberikanlah klaim asuransi penyakit kritis, yang bisa terus diinvestasikan dan hidup dari mencairkan investasi secara berkala.
Keuangan keluarga masih likuid selama beberapa tahun, sambil melakukan penyesuaian. Jika tidak ada asuransi penyakit kritis, bagaimana jadinya?
Lanjut, yang ketiga. Kondisi yang ditanggung adalah situasi di mana kehidupan masih berlangsung namun produktivitas lenyap. Maka perlu dipastikan bahwa tertanggung dalam keadaaan sehat waktu mengajukan asuransi penyakit kritis. Asuransi akan mengenakan masa tunggu, biasanya 3 (tiga) bulan sejak asuransi disetujui, baru setelahnya tertanggung bisa mengajukan klaim.
Nah, asuransi juga akan MENUNGGU selama beberapa saat untuk melihat bahwa Tertanggung tetap hidup. Baru setelah itu dikeluarkan pembayaran UP Dasar. Ini disebut masa SURVIVAL PERIODE, waktu untuk "membuktikan" Tertanggung tetap hidup.
Sampai di sini, agak susah dipahami bagaimana asuransi penyakit kritis diposisikan sebagai pembiayaan rumah sakit. Eh, ternyata ada asuransi yang membuat survival periode nya nihil, artinya begitu klaim dana terus keluar. Hanya, perlu dilihat bahwa spesifikasi klaim tetap berupa "penyakit yang melumpuhkan".
Artinya setelah keluar dari rumah sakit, ya tetap tidak produktif. Jika uang klaim dipakai untuk menebus biaya rumah sakit, lantas bagaimana dengan melanjutkan kelangsungan hidup wajar? Sekali lagi, kita perlu lihat bahwa asuransi atas biaya rumah sakit dan asuransi penyakit kritis menanggung aspek finansial yang berbeda, maka tidak bisa saling substitusi.
Ok. lantas bagaimana dengan premi asuransi penyakit kritis?
Premi akan berhubungan dengan tingkat risiko. Secara statistik, risiko orang kena penyakit kritis diusia diatas 57 (kata WHO) itu lebih tinggi daripada risiko meninggal dunia, di usia yang sama. Maka, tentunya premi untuk penyakit kritis lebih tinggi daripada premi untuk asuransi meninggal dunia.
Untuk meringankan premi, ada yang memindahkan tingkat risiko dari meninggal dunia ke asuransi kritis. Jadi, pembayaran UP asuransi penyakit kritis akan mengurangi UP meninggal. Ini disebut asuransi penyakit kritis yang dipercepat (accelerated) atau bayar dimuka (prepayment). Biaya preminya lebih ringan karena seperti hanya memindahkan UP meninggal. Jenis ini cocok untuk Tertanggung yang bukan sebagai penghasil nafkah, misalnya hanya Ibu Rumah Tangga.
Ada juga UP Penyakit Kritis yang tidak mengurangi UP Meninggal, jadi preminya pasti lebih tinggi. Bagi asuransi, risiko ditanggung semua: kalau sakit kritis harus bayar UP CI, yang biasanya setahun atau dua harus terus bayar UP Meninggal. Preminya jelas jadi dobel juga. Apalagi, di Indonesia banyak agen yang tidak mengerjakan PR nya dalam underwriting Nasabah.
Bagi Nasabah, mungkin bayar premi sebanyak itu akan jadi masalah.... pastinya, asuransi penyakit kritis bukan untuk semua orang. Ada situasinya:
1. Ketika kondisi fisik menunjukkan tingkat risiko lebih tinggi
2. Ketika sejarah kesehatan keluarga menunjukkan risiko lebih
3. Ketika lingkungan hidup mungkin meningkatkan risiko
4. Ketika kebiasaan hidup mungkin meningkatkan risiko
5. ....ingatlah bahwa kebanyakan penyakit kritis itu bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, kecuali bagi orang yang memang tidak memantau kesehatannya. Bukan penyakit akibat ketularan bakteri.....
Bagi agen asuransi, keterampilan memahami risiko dan underwriting awal sangat penting. Ada situasi di mana asuransi penyakit kritis ideal untuk diambil. Ada juga situasi di mana terlalu mahal untuk ambil asuransi penyakit kritis....
Namun jika kondisi risiko ada, lebih baik mempunyai asuransi penyakit kritis. Bisa sebagai income replacement, bisa juga untuk memproteksi aset di masa tua.
Sambung besok lagi ya....

No comments:

Post a Comment