Consultation

Donny A. Wiguna CFP, QWP, AEPP, QFE adalah QUALIFIED FINANCIAL EDUCATOR, dari FPSB sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Melayani konsultasi dan bantuan penjelasan serta pelatihan Asuransi, Investasi, Dana Pensiun, dan Estate Planning. Berpengalaman mengajar dalam keuangan sejak 2007.

Hubungi Donny A. Wiguna dengan SMS atau Whatsapp di 0818-222-634
Area Bandung dan Jakarta serta sekitarnya.

Pencarian

Saturday, July 23, 2016

Pikun Di Usia Tua

ALKISAH HIDUPLAH SEORANG AYAH DENGAN ANAKNYA, berdua saja karena sang istri sudah meninggal dunia. Sang ayah bekerja keras sebagai orang tua tunggal, berusaha membesarkan anaknya. Mereka melalui pergumulan, perjuangan. Tidak jarang sang anak terlalu nakal, bahkan pernah mencuri, yang membuat ayah sangat marah. Tetapi, ia tetap mencintai anaknya.

Akhirnya hidup mereka lebih baik, bisa punya rumah yang baik dan kuliah, hingga sang anak lulus dan bisa terus bekerja. Karir sang anak semakin baik. Namun kondisi sang ayah memburuk, ia mengalami penyakit Alzheimer (pikun akut), sehingga lupa jalan, lupa ganti pakaian, menumpahkan makanan, kencing sembarangan. Kalau sang anak pergi bekerja, ia berkeluyuran keluar dan tidak bisa pulang sehingga ditampung di rumah orang. Bayangkan kehebohan yang terjadi, si anak mencari ayah, dan orang mencari-cari siapa sanak keluarga orang pikun ini!

Mulanya, sang anak demi karir membawa ayahnya ke panti manula. Tapi ia merasa seperti membuang ayahnya, mengingat apa yang sudah ayahnya lakukan -- maka demi bakti kepada ayahnya, sang anak mengorbankan karir dan kembali mengurus ayahnya. Mereka mungkin hidup tidak makin sejahtera, tapi setidaknya bahagia...... <video end>

SAYA JUGA SEORANG AYAH dan saya mengagumi tekad dan kerja keras dari sang ayah yang berjuang sendiri; berjuang membangun anaknya. Saya bisa menghubungkan diri saya dengan tokoh pada cerita itu, ketika memandang anak saya sendiri.

Tapi, cerita pendek di atas tidak membahas perasaan sang ayah. Perasaan saya. Bayangkan, saya sudah bekerja banting tulang setengah mati, supaya saya bisa membangun kehidupan, membangun anak saya. Berjuang mati-matian supaya anak saya bisa lulus kuliah, dan dari sana ia bisa membangun karirnya sendiri.

Penyakit pikun, Azheimer, itu datang tanpa terduga, dan tidak bisa ditolak. Otak ini mendadak jadi tidak bekerja, tidak lagi bisa mengingat. Saya mungkin, bahkan, tidak lagi mengenali anak saya yang tampil rapi, pakai kemeja berdasi. Short-term memory saya rusak. Long-term memory saya mengingat anak yang masih pakai seragam sekolah. Saya sudah berjuang sepanjang hidup, apakah penyakit seperti ini akan mengalahkan saya?

Mengapa saya berjuang membangun kehidupan, membangun anak? Apakah agar pada satu titik di masa tua, saya bisa dilayani dan dirawat gara-gara penyakit sialan yang datang tanpa permisi?

JIka akhirnya saya harus dirawat oleh anak, yang dengan begitu melepaskan peluang karirnya yang bagus -- maka penyakit itu menggagalkan semua perjuangan saya. Sia-sialah saya berjuang banting tulang setengah mati!

Hanya masalahnya, sekali lagi, siapa yang bisa menduga penyakit akan datang, siapa yang bisa menolaknya, dan siapa yang bisa mencegah konsekuensinya?

Saya tidak tahu bilamana kelak saya mengalami Alzheimer. Ketika itu datang, saya tidak bisa menolaknya. Tetapi, dari sekarang saya bisa merencanakan untuk menanggulangi konsekuensinya. Selagi saya masih sehat dan bisa menulis ini, saya juga bisa mengambil asuransi jiwa yang sesuai.

Penyakit seperti dementia akut itu adalah penyakit yang merenggut semua kemampuan produktif diri saya, membuat saya tidak mampu menanggung diri saya sendiri secara finansial dan sosial. Ini termasuk di dalam kumpulan penyakit kritis yang terjadi pada usia tua, pertengahan usia 60-an, silakan cek di sini: https://www.nia.nih.gov/…/pub…/alzheimers-disease-fact-sheet

Saya bisa mengambil bentuk asuransi Long Term Care insurance. Ah, di Indonesia belum ada yang spesial untuk ini. Sebagai gantinya, saya bisa mengambil manfaat tambahan penyakit kritis. Dalam daftar penyakit kritis, biasanya tercakup pula Alzheimer Disease.

Jika saya didiagnosa mengalami penyakit Alzheimer, anak saya bisa melakukan klaim, kemudian mendapatkan dana. Saya akan berpesan agar anak saya memakai dana itu untuk membiayai kehidupan saya di panti manula yang baik. Masukkan dananya ke suatu investasi, gunakan bunganya untuk membayar biaya.

Panti manula? Panti jompo? Ya, mengapa tidak? Toh saya sudah kehilangan short-term memory. Yang penting saya bisa tinggal tenteram, ada yang merawat. Tidak menghalangi anak saya mengejar karirnya. Biar dia menjadi semakin besar, semakin berhasil....

Saya berharap anak saya juga terus berkeluarga, terus membangun anaknya sendiri. Saya menginginkan keturunan saya menjadi semakin banyak dan berhasil. Pada waktunya, mungkin ketika dia sudah sukses, saya akan kembali dibawa ke rumah anak saya..... tapi, saat itu mungkin saya tidak lagi berhasil mengingat atau memahaminya.

Saya tahu, karena saat ini pun mertua saya ada tinggal bersama kami, dan ia tidak berhasil mengingat saya. Apa boleh buat.

Tentang rider penyakit kritis, ada beberapa macam. Ada yang memberikan Uang Pertanggungan (UP) mengambil jatah dari UP meninggal meninggal dunia; jadi kalau meninggal hanya diberikan sisanya.

Ada yang kalau sakit akan keluar UP, dan kalau meninggal dunia tetap akan keluar UP. Tapi yang ini akan mengenakan biaya rider yang tinggi.

Yang lebih tinggi lagi adalah asuransi penyakit kritis yang membayar penyakit secara bertahap; karena semakin rendah keparahan penyakit, semakin tinggi jumlah orang yang sakit -- artinya semakin tinggi pula tingkat risikonya.

Yang paling efektif saat ini adalah asuransi penyakit kritis yang seperti dalam kasus Alzheimer, waktu keluar UP yang mengurangi UP meninggal dunia. Tetapi dengan berjalannya waktu dan tertanggung pengidap Alzheimer masih hidup, UP meninggal dunia itu akan dikembalikan lagi jika tetap hidup lebih dari setahun sesudahnya. Rider penyakit kritis seperti ini sangat keren, menurut saya....

Sampai besok lagi....

No comments:

Post a Comment